Salah satu permasalahan yang kerap muncul ketika penyembelihan hewan qurban saat Hari Raya Idul Adha yakni mengenai pemanfaatan kulit qurban. Di kalangan masyarakat, pemanfaatan kulit hewan qurban ini seringkali menjadi perdebatan. Ada yang berpendapat kulit hewan boleh di perjualbelikan dan sebagian lain berpendapat kulit hewan tidak boleh di perjualbelikan.

Hal ini cukup sering menjadi pertanyaan. Bagaimana hukum menjual kulit hewan qurban atau menukar kulit qurban dengan daging atau uang lalu hasilnya di shodaqohkan?

Berikut pemaparan hukum menjual kulit hewan qurban

Persoalan ini juga dibahas oleh Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara dengan keluarnya fatwa pada 2016. Fatwa tersebut berisikan larangan untuk menjual kulit hewan kurban, termasuk menjadikan upah bagi penyembelihnya.

“Orang yang berqurban atau wakilnya, haram menjual dan menjadikan upah, kulit, daging dan bagian lainnya dari hewan qurban,” bunyi fatwa tersebut.

 

Masalah pemanfaatan kulit hewan kurban ini telah di jelaskan Rasulullah dalam sebuah hadist riwayat Al Hakim.

“Siapa yang menjual kulit hewan qurbannya, maka tidak ada qurban baginya. (HR. al-Hakim)

Dalam sebuah hadist, Rasulullah memerintahkan Ali ra untuk mengurusi kurban dari Rasulullah dan kulit serta bulu unta itu semuanya di bagikan olehnya.

“Ali ra meriwayatkan, “Rasulullah saw. memerintahkan aku untuk mengurusi untanya (yakni ketika nahar), dan aku mendistribusikan kulit dan bulunya dan tidak memberikan sesuatu apa pun kepada penyembelih hewan kurban itu.” Rasul berkata, “Kami memberikan kepada penyembelih dari sisi kami” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Imam al-Kurdi dalam bukunya Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah Allam al-Ghuyub halaman 233 juga menyatakan tidak boleh menjual kulit hewan kurban dan memberikannya sebagai upah kepada si penyembelih.

“Tidak boleh menjual kulit hewan qurban dan menjadikannya upah bagi si penyembelih sekalipun pada kurban sunat. Bahkan dia bersedekah dengannya.”

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam fatwanya menyatakan, para ulama telah bersepakat bahwa menjual daging kurban di larang.

Terkait dengan pemanfaatan kulitnya, ada beberapa pandangan mengenai boleh atau tidaknya jika di jual.

Jumhur (sebagian besar) ulama berpendapat tidak boleh menjual kulit hewan qurban (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, halaman 438).

Menurut Imam Abu Hanifah boleh menjual kulit hewan qurban kemudian hasil penjualannya di shadaqahkan atau di belikan barang yang bermanfaat untuk keperluan rumah tangga (As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid III, halaman 278).

 

Hadits mengenakan pakaian kulit (klik disini)

 

Sementara itu ulama dari madzhab Syafi’i berpendapat bahwa boleh saja menjual kulit hewan qurban, asal hasil penjualannya di pergunakan untuk kepentingan qurban (Asy-Syaukaniy, Nailul Authar, Juz V, halaman 206).

“Kami sepakat tidak boleh menjual daging qurban, karena memang tujuan di syari‘atkan penyembelihan hewan qurban antara lain untuk di makan dagingnya, terutama untuk di shadaqahkan kepada fakir miskin,” kata ulama Muhammadiyah dalam fatwa yang di muat di Majalah Suara Muhammadiyah.

Ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa kulit hewan tidak boleh di jual sepanjang dapat di manfaatkan dengan baik.

“Demikian pula terhadap penjualan kulitnya, pada dasarnya kami sepakat untuk tidak di jual sepanjang dengan membagikan kulit itu dapat mewujudkan kemaslahatan,” lanjut fatwa tersebut.

Namun ulama Muhammadiyah menyadari bahwa memang sulit untuk memanfaatkan kulit hewan kurban jika tak di lakukan oleh ahlinya.

Tak jarang masyarakat yang mendapati kulit hewan tersebut malah justru tidak termanfaatkan dan menimbulkan hal yang mubadzir.

Sesuatu yang mubadzir ini sudah barang tentu di larang oleh agama.

Hal ini terkadang menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Menyikapi hal tersebut, ulama Muhammadiyah mengatakan memang ada kemungkinan jika kulit hewan itu di tukar dengan daging.

“Jika hal ini mungkin dapat di lakukan adalah merupakan pilihan yang paling baik. Kemudian daging tersebut di shadaqahkan,” bunyi keterangan fatwa itu.

Sumber: www.tribunnews.com
Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Garudea Prabawati

Scroll to Top
Scroll to Top